Total Tayangan Halaman

Sabtu, 05 Mei 2012

PENERAPAN TEKNOLOGI PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN SECARA PARTISIPATIF DI PEDESAAN



Sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture system) melalui pendekatan yang partisipatif memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas petani dalam mengambil keputusan dan merangsang tumbuhnya inovasi-inovasi lokal dengan melakukan ujicoba dan pembaruan teknologi. Selama ini partisipasi petani dalam pengembangan teknologi diperlihatkan oleh mereka melalui berbagai ujicoba dan penggabungan pengetahuan baru dengan teknologi tradisional dalam kegiatan usaha tani.  Mereka merasakan sistem pertanian yang sudah ada mengalami perubahan terus seiring dengan bertambahnya pengalaman, informasi baru, meningkatnya jumlah penduduk, munculnya aspirasi baru, produktivitas lahan yang menurun  dan sumber daya alam yang terbatas.
Dalam pertanian, pengembangan teknologi merupakan suatu proses yang tidak akan pernah berakhir.  Suatu sistem usaha tani yang produktif dan berkesinambungan memerlukan penggabungan antara teknik dan input yang berubah terus menerus.  Kualitas benih menurun, serangga dan hama menyebar dan berkembang menjadi resisten, fluktuasi harga di pasar, munculnya input baru dan input yang lama menjadi mahal, perubahan hukum pertanian dan ekonomi dan keberhasilan teknologi secara temporer menjadi kurang menguntungkan karena penyebarannya menekan harga-harga di pasar (Bunch, 1985).  Untuk itu penting membangun kemampuan yang terus menerus berinovasi daripada menghasilkan teknologi yang statis
Dinamisme teknologi pada sistem pertanian sebagian besar  dimulai dari proses pembaruan dan adaptasi,  mereka mengembangkan menjadi bermacam-macam sistem pertanian yang disesuaikan dengan kondisi tingkat komunitas, ekologis, ekonomis, dan sosiokultural. Petani terdorong untuk mengunakan pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai mereka dalam memilih, mencoba dan mengadopsi teknologi “input” yang semata-mata  bukan merupakan rekayasa dari luar namun justru menggunakan potensi teknologi yang telah ada dan selama ini berkembang di masyarakat (indigenous technology).
Munculnya petani-petani sebagai “inovator” dengan gagasan-gagasan teknologi inovatif yang telah dipraktekan secara integral mengarah kepada pemanfaataan sumber daya setempat/lokal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kreasi-kreasi teknologi tradisional inovatif yang cenderung ramah lingkungan dan dikembangkan misalnya:  pestisida nabati, pupuk organik, teknik bercocok tanam, teknik pembibitan,  alat tanam, pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air, pengendalian erosi dan sebagainya, yang diantaranya sebagai jawaban terhadap tantangan yang akan mereka hadapi pada perkembangan era pertanian ramah lingkungan (ecoagribusiness) masa mendatang.
Beberapa contoh hasil inovasi teknologi ramah lingkungan yang dikembangkan oleh beberapa petani inovator sesuai dengan kondisi lokal setempat, contohnya kelompok tani di Desa Ciburuy,  Kec. Cigombong Bogor menggunakan daun pohon picung dan suren untuk mengendalikan hama pada padi dan sayuran,  begitu pula daun tanaman kipahit (papahitan) oleh mereka digunakan sebagai pupuk hijuan sumber N dan bio pestisida untuk mengendalikan imago/kupu hama penggerek pada lahan penyemaian padi. Sedangkan keong mas yang selama ini dianggap sebagai hama padi,  mereka manfaatkan sebagai bahan pembuat pupuk cair yang dicampur  dengan serpihan teri dan telur ayam.
Input-input teknologi lokal yang mereka kembangkan merupakan proses interaksi kreatif antara komunitas petani setempat dengan fasilitator dari luar (penyuluh) dalam melakukan uji coba lokal dengan berbagai pilihan yang berasal dari pengetahuan khas setempat, yaitu dari pengalaman petani setempat, petani di luar desa maupun yang berasal dari pengetahuan formal.  
Kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada keberlanjutan proses pengembangan teknologi lokal tersebut harus dibarengi dengan pengembangan organisasional.  Para anggota tani yang tergabung dalam wadah petani seperti Gapoktan, Koperasi tani dapat mengembangankan fungsi-fungsi baru sebagai praktisi dan fasilitator pengembangan teknologi partisipatoris.

Jumat, 27 April 2012

LEPAS DARI JERATAN RENTE BANG KELILING

Masyarakat kelompok bawah mulai dari komunitas keluarga pekerja/buruh serabutan, supir,  buruh pabrik, pedagang mikro/kecil, petani buruh dan sebagainya,  guna menghadapi beratnya himpitan globalisasi ekonomi yang tidak adil dan untuk memenuhi kebutuhan selain kebutuhan pokok, seringkali harus memutar otak untuk mencari jalan pintas yaitu “gali lubang tutup lubang” artinya mencari utangan dari berbagai sumber entah dari antar tetangga, teman, pelepas uang atau yang lainnya namun dalam jumlah yang kecil untuk menutupi defisit anggaran rumah tangga atau usahanya supaya dapur tetap ngebul dan usaha tetap berputar. Bagi mereka ini yang penting dengan kondisi ekonomi yang serba tidak menentu,  masih bisa bertahan hidup. 

Jalan yang ditempuh sungguh jauh dari nilai keberkahan, bagaimana tidak transaksi peminjamannya mengandung  mekanisme bunga (interest rate) yang menggurita bersama sistem hutangnya. Secara sadar atau tidak mereka terjebak ke dalam kesulitan dan melakukan transaksi yang jauh dari nilai kehalalan dan al’adalah (keadilan).  Mereka semakin lama terjerat  dengan utang yang bunganya selangit dan mencekik.  Bagaimana tidak, 1 keluarga bisa memiliki lebih dari 2  pinjaman yang berbeda sumbernya dengan bunga yang hampir sama tingginya.    Masyarakat kelompok miskin (poor) di pelosok gang perkotaan maupun di desa-desa tentu mengenal benar sosok yang selama ini memberikan pinjaman, siapa lagi kalau bukan “bank keliling” istilah yang lain “bank titil”.

Bank keliling biasanya adalah seseorang yang berpakaian rapi layaknya pegawai kantoran biasanya berjalan kaki, bermotor atau bersepeda setiap hari berkeliling kampung-kampung, antar gang di perkotaan maupun perumahan untuk menawarkan atau menagih setoran harian kepada debitornya yang rata-rata komunitas keluarga miskin dengan penghasilan harian.  Prosesnya cepat dan mudah tanpa jaminan fisik (agunan) tidak seperti halnya bank-bank konvensional yang prosesnya berliku-liku, dengan akad pinjaman 100 rb berjangka1 bulan, mereka langsung menerima 90 rb karena masih dipotong biaya adminstrasi 10 rb.  Mereka setiap hari harus mencicil pokok dan bunganya selama 1 bulan dengan total setoran berjumlah 120 rb. Alhasil mereka terjerat membayar bunga hasil transaksi riba 30 rb (per bulan 25 %, ekivalen per tahun 300 %), bayangkan bunga yang dikenakan lebih besar dari bunga bank konvensional, memang mereka rasakan tidak berat karena hampir  setiap hari mencicil. Status bank informal ini tidak terakreditasi alias perorangan yang berprofesi layaknya seorang renternir.

Pembiayaan alternatif yang lebih adil, penuh berkah dan saling menguntungkan yang jauh dari ribawi/rente seperti mekanisme di atas bagi komunitas miskin sangat diperlukan. Butuh semacam lembaga yang mampu menfasilitasi kebutuhan mereka untuk memperoleh pinjaman yang mudah, adil dan syar’i (bebas bunga).  Salah satunya adalah Koperasi (syirkah taawuniyah) berbasis syariah yaitu lembaga usaha yang dinilai cocok untuk menaungi  rakyat kecil, karena nilai-nilai yang diusung mulia seperti keadilan, kebersamaan, kekeluargaan, dan kesejehateraan bersama. Ini artinya koperasi merupakan badan usaha yang menjunjung tinggi pemerataan kesejahteraan ekonomi diantara sesama anggotanya.  Lembaga ini dapat ditumbuhkan di tengah lingkugan masyarakat kurang mampu tadi melalui proses-proses bottom-up dan partisipatif untuk melakukan kegiatan transaksi secara syariah dan saling menguntungkan. Tentunya sumber pembiayaan dapat diperoleh koperasi melalui kerjasama dengan berbagai pihak misalnya perbankan syariah, lembaga ZIS, perusahaan, dan sebagainya.
Peran lembaga pembiayaan syariah (non bunga) seperti halnya koperasi berbasis sosial, nantinya diharapkan mampu memberdayakan dan menolong mereka keluar dari mekanisme jeratan rentenir. Karena dengan semakin besarnya harapan dan kepedulian komunitas terpinggirkan/miskin terhadap peran koperasi syariah secara riil dalam upaya pembangunan masyarakat menuju masyarakat yang falah ( bahagia materiil maupun spirituil) maka keberadaan koperasi sosial di tengah mayarakat adalah hal yang mutlak diperlukan.